“1965”

egch_02_img0136

Angka itu kini jadi sejenis kode yang ditafsir: satu titimangsa, kata orang Sunda, tentang suatu kejadian yang begitu besar—terkadang disebut “peristiwa sejarah”—dan sebab itu selalu disederhanakan. Pembunuhan sejumlah jenderal sekaligus. Pembalasan yang mengerikan terhadap orang PKI. Awal pergantian sejarah politik Indonesia yang traumatis.

Kita tahu, “1965” lebih dari itu semua. “Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati,” kata-kata itu tercantum dalam novel Amba, dalam sepucuk surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan di bawah sebatang pohon di Pulau Buru oleh penulisnya, seorang dokter, seorang tapol, yang kemudian terbunuh. “Sejarah menyingkirkan orang-orang kecil dari catatan.”

Novel Amba melawan itu: menghadirkan orang-orang yang tersingkir dari catatan tahun 1965—dan begitu pula Pulang.

Entah kenapa kedua novel tebal itu terbit tahun 2012 ini dalam waktu berdekatan. Amba, karya Laksmi Pamun­tjak, dengan prosa yang memukau menggambarkan hidup seorang gadis anak seorang guru di kota kecil Kadipura, suasana Jawa Tengah dan Timur yang berubah dan tegang, bentrokan berdarah di Yogya, dan akhirnya kehidupan mereka yang dibuang di Pulau Buru. Pulang, karya Leila S. Chudori, dengan cara bertutur yang hidup dan memikat, mengisahkan mereka yang terpaksa jadi eksil di Eropa, atau dihabisi di Jakarta—karena dianggap “PKI”—juga anak-anak mereka.

Entah mengapa, tampaknya tahun 2012 adalah tahun yang ingin mengingatkan, dan “1965” adalah fokusnya. Di salah satu edisi khususnya majalah Tempo memuat hasil wawancara mereka yang ikut membunuh orang-orang PKI atau disangka PKI di sekitar tahun 1965—sebuah reportase mengenai hal itu yang pertama kali diterbitkan di Indonesia.

Kemudian The Act of Killing Joshua Oppenheimer: sebuah film dokumenter tentang para algojo 1965 yang membuat film tentang ke-algojo-an mereka sendiri, terkadang lucu seperti parodi, terkadang pongah, menjijikkan, dan mengerikan—sebuah film yang dengan tepat disebut Zen Rs. sebagai “gambaran grotesk dari ke-Indonesia-an”.

Yang grotesk, yang menyentuh, yang faktual—semua bisa hadir, karena mengingat bukanlah menghadirkan foto-foto tua yang sudah berwarna sepia. Ingatan bukanlah versi yang lemah dari “kenyataan”. Mengingat adalah proses kontraksi dan ­ekspansi sekaligus. Kontraksi, karena di dalamnya data yang bertebaran, berlapis-lapis, berkembang biak, diringkas, melalui proses seleksi yang spontan ataupun diniatkan. Dari seleksi itu hadir apa yang diingat dengan tajam. Tapi dari itu pula, mengingat adalah juga sebuah ekspansi: merengkuh dan mendapatkan sesuatu yang baru—seperti ketika mengisahkan kembali sebuah pengalaman yang tak habis-habisnya menyentuh hati.

Maka ingatan bukan replika. Ingatan bukan hafalan, melainkan saat-saat membentuk dan dibentuk, sebuah proses yang dilakukan dalam kebebasan. Dari sinilah gambaran masa silam lahir. Menyusun bayangan tentang itu tak sekadar memanggil kembali sesuatu yang pernah ada. “Imaginer n’est pas se souvenir,” kata Bergson.

Itu sebabnya Amba dan Pulang, juga The Act of Killing, bisa menunjukkan bahwa mengingat masa lalu juga memproduksi apa yang baru: sebuah perspektif yang tidak ada sebelumnya. ­Laksmi Pamuntjak mempersembahkan novelnya untuk “mereka yang ditahan di Pulau Buru”, yang “telah memberiku sepasang mata baru”.

Dalam Pulang, Lintang bagi saya adalah tokoh utama. Ia gadis Paris yang beribu Prancis berayah Indonesia. Si bapak, Dimas Suryo, seorang wartawan Indonesia yang bekerja di kantor berita Nusantara, yang sejak 1965 tak bisa kembali ke Tanah Air. Menjelang akhir pemerintahan Soeharto, Lintang datang ke negeri ayahnya untuk memenuhi tugas akademiknya: membuat sebuah film dokumenter tentang korban-korban 1965. Jatuh cinta kepada Alam (anak sahabat ayahnya yang mati dieksekusi militer), Lintang terlibat dalam gerakan mahasiswa untuk Reformasi, meskipun lebih sebagai saksi sejarah ketimbang sebagai pelakunya.

Film dokumenter yang dirancang Lintang dapat dianggap sebagai sebuah alegori bahwa ingatan adalah sebuah laku transformatif, sebuah proses kelahiran sesuatu yang lain. Pembuatan dokumentasi tentang masa lalu itu mengubah hidupnya.

Sebagai seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Paris, Lintang seharusnya mengartikan kata “pulang” bukan ke Jakarta. Tapi sampai di akhir novel ia tak kelihatan memutuskan akan balik ke Prancis. Di akhir novel, ia merasa betapa bahagia ayahnya dimakamkan di tanah kelahiran, persisnya di Karet, Jakarta, di kubur yang diimpikannya selama jadi eksil. Bagi sang ayah, “pulang” adalah kembali ke masa lalu. Bagi Lintang, “pulang” adalah memasuki pengalaman yang baru.

Mungkin itu juga sebabnya pada akhirnya novel ini adalah cerita tentang generasi umur 20-an yang aktif untuk mengubah Indonesia ke sebuah masa depan. Pulang praktis tanpa nostalgia: anak-anak muda yang kemudian mengambil alih kisahnya justru menghendaki sebuah republik yang lain, dengan kemerdekaan yang tak pernah dinikmati ayah dan ibu mereka sejak di bawah “Demokrasi Terpimpin” Bung Karno sampai dengan “Orde Baru” Soeharto.

Mungkin itu juga sebabnya tempo novel ini cepat, melayang tanpa sejarah, seakan-akan ikut terdorong para pemuda yang ingin membawa Indonesia berlari, berlari, hingga hilang pedih perih masa lalu. Bahasa yang dipakai lurus dan transparan, tanpa ambiguitas dan kegelapan yang membuat kita merenung. Bagi Lintang dan Alam, Indonesia (atau “I.N.D.O.N.E.S.I.A.”) adalah sebuah fenomen yang belum didefinisikan. Atau tak perlu didefinisikan. Back to the future.

~Minggu, 16 Desember 2012~

Goenawan Mohamad

Leave a comment